Seperti yang kita tahu, sekarang hampir semua restoran telah menetapkan pajak yang dibebankan kepada pelanggan. Pajak tersebut biasanya sebesar 10%, namun ada pula beberapa restoran yang mentapkan pajak hingga 20%. Jadi, semakin banyak kita makan akan semakin besar pula pajak yang dibebankan kepada pelanggan. Bahkan bukan hanya pajak, sekarang hampir semua restoran, menetapkan pula biaya service. Biaya service tersebut biasanya sekitar 5000an.
Coba kita hitung, anggap saja pajak dan biaya service yang dibebankan pada range harga yang umum, yakni 10% (pajak) dan Rp 5000,- (biaya service). Misalnya, kita makan di sebuah restoran, total harga makanan tersebut adalah Rp 100.000,- + (10% × Rp 100.000,-) + Rp 5000,- =Rp 115.000,-. Jadi, kita harus membayar Rp 15.000,- hanya untuk pajak dan biaya service jika kita makan dengan harga Rp 100.000,-. Itu hanya 1 orang yang makan. Jika ada 100 orang yang makan berarti restoran mendapat 100 × Rp 15.000,- = Rp 1.500.000,- hanya untuk sebuah pajak dan biaya service.
Sebuah restoran memang harus membayar pajak restorannya (pajak bangunan). Namun, pajak restoran tersebut seharusnya dibebankan kepada si pemilik restoran. (Lebih lengkapnya dapat dilihat dihttp://www.academia.edu/9254189/TINGKAT_PEMAHAMAN_PEMILIK_RESTORAN_DAN_KONSUMENNYA_TENTANG_PAJAK_RESTORAN). Mungkin sudah banyak pula yang mengetahui ini tetapi semua seperti tidak peduli. Memang, jika dilihat nilai uangnya tidak terlalu besar. Apalagi jika kita hanya makan dengan total harga Rp 30.000,- misalnya, kita hanya perlu membayar pajak dan biaya service sebesar Rp 8000,-. Tetapi coba dilihat berapa besar yang dapat dikumpulkan restoran dari pajak dan biaya service tersebut. Semakin banyak pembeli dan semakin besar total harga makanan, semakin besar pula pajaknya.
Dan ini pengalaman saya kemarin. Dua hari yang lalu saya membeli rendang 2 potong di sebuah restoran padang di daerah Jatinegara. Satu potong rendang harganya Rp 17.000,-. Lalu saya ke kasir, penjaga kasir tersebut berkata bahwa semua totalnya Rp 34.000,-. Berarti tidak ada pajak yang dibebankan kepada saya. Saya juga bertanya, "kalo makan disini baru kena pajak ya mba?", penjaga kasir itupun mengiyakan. Kemudian besoknya saya membeli rendang lagi di restoran yang sama tetapi di daerah Rawamangun. Restoran padang ini bercabang, cabang Jatinegara dan cabang Rawamangun. Saya membeli rendang 2 potong lagi. Harga satu potongnya sama, Rp 17.000,-. Lalu saya ke kasir, pejaga kasir tersebut berkata bahwa total semuanya Rp 37.400,-. Saya tidak terlalu mendengar penjaga tersebut berkata berapa. Saya hanya langsung memberikan uang Rp 50.000,-. Setelah memberikan kembali saya agak bingung mengapa uang kembalinya ada koinnya. Tetapi saya pikir itu uang Rp 500,-. Sesampainya di rumah saya melihat struknya. Ternyata saya dikenakan pajak.
Saya benar-benar bingung. Bagaimana bisa restoran yang bercabang dimana pusatnya sama bisa berbeda di pengenaan pajaknya. Sekitar beberapa hari sebelum saya beli rendang, saya sempat makan di tempat tersebut di cabang Rawamangun dan dikenakan pajak. Saya masih tidak apa-apa jika saya makan di tempat dikenakan pajak. Anggaplah uang tersebut untuk karyawannya yang harus mencuci piring dan membersihkan meja. Namun, ketika kemarin saya membeli rendang di tempat yang sama tetapi di bawa pulang saya juga dikenakan pajak. Lantas apa yang dikerjakan restoran hingga saya harus membayar pajak? Ia hanya menyendok dan membungkus rendang tersebut, saya juga bisa. Saya bukan mempersalahkan nilai uangnya yang hanya Rp 3.400,-. Namun coba bayangkan jika dalam sehari ada 100 pengunjung, dan saya yakin lebih.
Jangan pernah kita lihat dari nilainya saja. Coba kita buka pikiran kita. Bukan hanya sekedar uang, tetapi ini juga masalah kejujuran si pemilik restoran. Jangan sampai kita mau terus-menerus dibebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya menjadi beban kita. Inilah Indonesia yang dengan sedih saya cinta. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Tuesday, 29 September 2015
Friday, 25 September 2015
FIRST POST!
Nama saya Novita. Saya lahir di Jakarta, 3 Juni 1996. Saat ini saya sedang menjalani perkuliahan di semester 3, jurusan Business in Creative Industry, di KALBIS Institute.
Sebenarnya saya sudah memiliki blog ini sejak cukup lama. Mungkin sekitar kelas 10 atau 11 SMA, atau mungkin kelas 9 SMP, entahlah saya lupa. Namun, saya bingung dan terlalu malas untuk membuat postingan-postingan di blog ini. Tetap beberapa hari yang lalu dosen mata kuliah New Media Marketing memberi tugas untuk membuat blog untuk yang belum memiliki blog, dan mengaktifkan blog untuk yang sudah memilikinya. Maka sekarang saya harus aktif membuat postingan di blog ini karena dosen saya itu juga bilang bahwa semua tugas yang beliau berikan nanti harus diposting di blog. Ini memang menjadi kewajiban, namun saya tidak merasa terpaksa melakukan ini karena sebenarnya saya suka menulis. Hanya saja selama ini saya terlalu malas untuk mengetik atau menulis di kertas, semua bayangan-bayangan tulisan tersebut hanya ada di kepala saya.
Blog ini akan saya isi degan beragam tulisan, cerita, ulasan (review), pengetahuan, info-info dan terutama tugas-tugas kuliah saya. Serta apa pun juga yang saya ingin tuliskan. Saya akan berusaha mengemas tulisan-tulisan pada blog ini dengan menarik dan bermakna.
Saya sangat berterimakasih kepada semua yang bersedia meluangkan waktunya untuk membuka blog saya dan membaca tulisan-tulisan saya. Saya akan berusaha menuliskan segala hal yang bermanfaat untuk para pembaca. Saya sangat senang jika Anda juga bersedia memberi komentar berupa kritik dan saran apa saja mengenai tulisan saya. Namun, saya sangat berharap kepada semua pembaca untuk memberi komentar dengan kata-kata yang baik dan sopan.
Sekian tulisan pertama saya di blog ini. Terimakasi dan selamat membaca. 🙈🙉🙊
Subscribe to:
Posts (Atom)